Langsung ke konten utama

nggak ngerti mesti curhat ke sapa

selama ini aku ngilang dari blog itu pertama karena seperti biasa, inetku nggak bisa mencakup blog. yaudah aku ngaskus aja, aku ketularan bagas sama abang jadi ikutan ngaskus.
sebenernya aku udah mendem curhatan berbulan-bulan, aku gak ngerti mesti curhat ke sapa, pas aku mau curhat  udah dibikin bercanda duluan dan begonya aku gak bisa nahan ketawa, penyakit lama.
aku sebel tiap mau curhat mesti di duluin ato dibikin bercanda, seenggaknya sampe sekarang aku cuma bisa curhat ke revy sama kak shalmaa.
kalo aku curhat ke orang lain dikiranya ntar aku munafik, daripada cari musuh mending aku simpen aja, sampe meledak juga gak papa, aku terbiasa ngorbanin diriku buat anggepan publik, buat image.
satu-satunya tempat aku curhat cuma blog, meskipun aku ngerti blog bisa dibaca sapa aja tapi yang paling nyaman cuma blog, soalnya buat curhat ke blog aku nggak perlu ngomong, percaya deh ngomong itu bikin capek.
aku curhat ke revy sering, lewat sms. lewat dunia nyata juga, tapi tiap pulang sekolah biasane aku sms revy ngirim #factsaboutabang tercinta ituh, ya udah bosen kali ya temenku sekelas liat aku ngomongin abang.
curhat ke kak shalmaa, cuma 2 kali, satunya lewat chat satunya lewat sms. enaknya kak shalmaa itu lebih dewasa dari aku, trus juga temennya abang, jadi bisa kasih saran. aku nggak bisa lupa waktu itu aku ngefans sama kak shalmaa, eh sama abang malah dibilangin, si abang ih -____-
sejauh ini, aku cuma bisa plong setelah curhat ke blog, aneh ya aku? ya emang dari dulu, tapi aku sayang kok sama aku yang aneh ini. aku nyoba nutupin hidupku biar nggak terlalu banyak orang tau tapi gak bisa, mereka terlalu mengetahui lebih dari aku tahu hidupku.
aduh, sehari posting dua kali, tanganku linu.
dadaaa ..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...